Jakarta – Sistem pertahanan udara Israel yaitu Kubah Besi (Iron Dome) yang sebelumnya telah teruji mampu melindungi teritori negara Yahudi itu dari serangan udara, kali ini terbukti mampu ditembus oleh intensitas gempuran dalam skala besar. Sementara pihak Israel, seperti dikutip dari BBC mengemukakan jumlah roket yang ditembakkan ketika sebagian besar warganya sedang berada di Sinagoga untuk berdoa atau di rumah bersama keluarga merayakan Hari Sabat hanya separuh dari jumlah yang diklaim Hamas.
Namun terlepas dari jumlah roket yang ditembakkan, sistem pertahanan udara Israel yaitu Kubah Besi (Iron Dome) yang sebelumnya telah teruji mampu melindungi teritori negara Yahudi itu dari serangan udara, kali ini terbukti mampu ditembus oleh intensitas gempuran dalam skala besar. Ribuan roket yang ditembakkan dalam waktu singkat telah melumpuhkan Iron Dome hanya dalam hitungan beberapa jam.
Setelah serangan mendadak yang diprediksi direncanakan dengan matang selama berbulan-bulan berhasil menembus pertahanan udara musuh, polemik langsung terjadi di dunia internasional. Beragam pemberitaan dari berbagai media tanpa perlu menunggu lama langsung berlanjut dengan berbagai opini, analisa hingga spekulasi.
Pro dan kontra, dukungan hingga kecaman segera mengemuka di berbagai platform. Mulai dari media arus utama (mainstream), hingga media sosial bahkan WhatsApp Group (WAG). Di salah satu WAG dimana saya menjadi salah satu anggotanya, ada sebuah komentar menarik. Komentar tersebut dikemukakan pada Minggu, 8 Oktober 2023 hanya berselang sehari setelah serangan di Jalur Gaza dimulai. Satu hal lagi yang menarik perhatian adalah yang berkomentar adalah seorang perwira tinggi Tentara Nasional Indonesia-Angkatan Udara (TNI-AU). Beliau adalah Marsekal Pertama (Marsma) TNI Agung Sasongkojati yang kini menjabat sebagai Kepala Dinas Penerangan (Kadispen) TNI-AU.
Selain menembakkan roket, Hamas menurut Agung juga menggunakan paramotor dan drone First Person View (FPV) untuk melakukan serangan udara ke Israel dalam operasi militer yang diberi sandi “Al Aqsa Flood”. Menurut Agung, yang pernah menjadi penerbang pesawat tempur (fighter aircraft), F-16 Fighting Falcon, drone FPV yang dioperasikan dengan sistem monitoring kendali dan dokumentasi melakukan serangan menggunakan drone prosumer. Agung yang kini juga aktif dalam dunia pesawat nirawak (drone) di Indonesia juga menambahkan jika drone yang digunakan untuk melakukan serangan udara biasa dipergunakan untuk aktivitas fotografi dan pemetaan (mapping). Namun pada saat serangan dilakukan, terbukti drone juga dapat dioperasikan untuk melakukan pengeboman (bombing) dengan mempergunakan granat.
Jika berkaca dari serangan yang terjadi di Israel, kebijakan yang selama ini diberlakukan oleh Indonesia di wilayah udara kedaulatannya, sudah sangat tepat. Agung menjelaskan jika semua olahraga dirgantara yang dilakukan berada di bawah kendali National Airsport Control (NAC) Federasi Aero Sport Indonesia (FASI). Ketua Umum FASI adalah Kepala Staf Angkatan Udara (Kasau).
Selain olahraga dirgantara yang berpotensi membahayakan keselamatan penerbangan (flying safety) dan keamanan nasional (national security), sesuai Undang-undang (UU) Olahraga, semua kegiatan olahraga dirgantara bersifat rekreasi atau hobi, prestasi dan edukasi. Berbagai olahraga dirgantara di Indonesia, mulai dari skydiving, aeromodelling, paralayang, gantole, drone, Unmanned Aerial Vehicle (UAV), paramotor, microlight, swayasa, glider, baloonning, airship, pesawat bermotor, hingga rocketing, sepenuhnya berada di bawah pembinaan FASI.
Di seluruh daerah, kewenangan atau otoritas yang dimiliki FASI didelegasikan kepada Pangkalan TNI-AU (Lanud) setempat sebagai pembina klub olahraga dirgantara daerah. Itu semua menurut Agung dilakukan agar potensi penyalahgunaan peralatan olahraga untuk melakukan kegiatan yang melanggar hukum seperti terorisme dan aksi-aksi kriminal seperti penyelundupan dan aktivitas separatisme hingga radikalisme agama tertentu dapat dicegah. Jika segala aktivitas terkait yang berpotensi melanggar keamanan penerbangan, baik di wilayah yang dapat dimonitor (controlled) maupun tidak termonitor (uncontrolled) dapat diantisipasi sejak dini, maka kedaulatan negara di udara dapat terus dijaga secara terus menerus selama 24 jam sehari, tujuh hari seminggu.
Pertahanan Udara Indonesia
Di berbagai negara, termasuk Indonesia, kedaulatan di udara bersifat menyeluruh dan eksklusif. Seluruh potensi kekuatan udara (air power) yang dimiliki akan dikerahkan untuk mengantisipasi terjadinya serangan udara (air strike). Di Indonesia, tugas pertahanan negara tidak hanya menjadi tanggung jawab TNI-AU. Dua angkatan lain yaitu TNI-Angkatan Darat (TNI-AD) dan TNI-Angkatan Laut (TNI-AL) juga dikerahkan untuk menjaga kedaulatan negara di udara. Itulah mengapa TNI-AD memiliki Detasemen Artileri Pertahanan Udara (Denarhanud) dan Kapal Republik Indonesia (KRI) TNI-AL juga memiliki persenjataan artileri sebagai penangkis serangan udara.
Sementara TNI-AU yang menjadi ujung tombak dari kekuatan udara Negara Kesatuan Republik Indonesia memiliki tugas seperti yang tercantum dalam doktrinnya yaitu “Swa Bhuwana Paksa” yang berarti sayap tanah air. Dari doktrin itu kemudian diterjemahkan dalam kekuatan alat utama sistem senjata (Alutsista) yang dimiliki oleh TNI-AU melalui proses pengadaan yang melibatkan Markas Besar (Mabes) TNI dan Kementerian Pertahanan (Kemhan).
Dalam proses pengadaan itulah dibutuhkan kehati-hatian sekaligus ketelitian yang tinggi agar tidak terjadi tumpang tindih Alutsista di masing-masing angkatan yang memiliki tugas pokok dan fungsi (Tupoksi) pertahanan udara. Salah satu contoh sederhana, pengadaan pesawat, mulai dari angkut, tempur, helikopter hingga sistem radar yang dioperasikan TNI-AU, spesifikasinya tentu berbeda dengan AD maupun AL.
Semoga insiden serangan udara yang terjadi di Jalur Gaza yang kini telah menjadi ajang perang terbuka di darat, laut maupun udara dapat memberikan pelajaran berharga bagi Indonesia untuk merumuskan sekaligus mengembangkan sistem pertahanan udaranya. [Adm]