Menjaga Wilayah Udara NKRI Merupakan Peluang dan Tantangan

Jakarta – Setelah mencapai kesepakatan untuk membeli dua belas jet tempur Prancis milik Angkatan Udara Qatar, pemerintah Indonesia juga tertarik untuk membeli banyak lagi jet tempur milik Uni Emirat Arab.

Menjaga kedaulatan negara kepulauan sebesar dan kaya Indonesia, yang memiliki luas 1.916.906 km2 dan terdiri dari 17.000 pulau, bukan tugas yang mudah. Untuk menghadapi situasi itu, pemerintah mempersiapkan sistem keamanan yang komprehensif melalui darat, laut, dan udara untuk melindungi kepulauan Indonesia.

Dikenal dengan Kebutuhan Pokok Minimum atau Minimum Essential Force (MEF), yang dicanangkan sejak 2007, itu merupakan suatu upaya untuk modernisasi kekuatan alat utama sistem persenjataan Indonesia yang dibagi ke dalam tiga tahapan strategis hingga 2024. Dan menambah jumlah armada tempur udara merupakan salah satu bagian di dalam MEF.  

Dengan tugas pokok melakukan pengawasan ruang udara dari Sabang hingga Merauke, sejak Miangas sampai Pulau Rote, aneka merek burung besi berkekuatan supersonik telah dimiliki oleh Indonesia mulai dari buatan dua negara adikuasa, yakni Rusia dan Amerika Serikat, hingga besutan Inggris dan Korea Selatan. Sebentar lagi, alat tempur buatan Prancis juga masuk ke dalam daftar kekuatan pertahanan udara Indonesia.

Lewat kerja sama dengan Dassault Aviation, Pemerintah Indonesia memesan 42 unit Rafale, jet tempur dari generasi 4,5. Sebuah kesepakatan pembelian pun telah terlaksana pada Februari 2022 di Paris, antara Menteri Pertahanan RI Prabowo Subianto dan mitranya Menhan Prancis, Florence Parly.

Pembelian jet tempur tipe multirole combat aircraft (MRCA) tersebut dibagi dalam dua tahap, yakni pemesanan enam unit pertama, dilanjutkan 36 unit lainnya. Nilai kontraknya mencapai USD8,1 miliar untuk ke-42 unit Rafale atau sekitar Rp123,12 triliun. Paling cepat unit pertama Rafale bakal diterima Indonesia 36 bulan sejak kesepakatan dibuat atau saat 2026 mendatang.

Jika selesai seluruhnya, maka paling cepat 60 bulan sejak kontrak dibuat atau dalam lima tahun ke depan, Indonesia baru bisa melihat semua Rafale berada di tanah air. Indonesia juga masih mempunyai keinginan untuk membeli 36 unit jet tempur buatan AS, F-15 EX Super Eagle. Meski saat ini baru dalam tahap pembahasan surat penawaran (letter of offer and acceptance) kepada pemerintahan Presiden Joe Biden, mengingat proses pembeliannya melalui skema foreign military sales (FMS).  

Masih dalam konteks MEF, peremajaan (refurbishment) tak terbatas pada pembelian alutsista baru. Sebab, Indonesia pun perlu melakukan peningkatan (upgrade) dan perbaikan (overhaul) secara bertahap terhadap armada tempur yang saat ini dimiliki seperti F-5 Tiger, Sukhoi Su-27, dan Su-30, Hawk 100/200, dan F-16 Fighting Falcon. Tindakan upgrade dan overhaul mesti dilakukan lantaran armada-armada tadi usianya sudah tidak bisa dibilang muda.

Mengutip pernyataan Sekretaris Jenderal Kementerian Pertahanan Marsekal Madya Donny Ermawan Taufanto seperti diwartakan Antara, rata-rata usia 49 unit pesawat tempur milik TNI Angkatan Udara adalah 20–30 tahun. Sebanyak 33 unit F-16 Blok A hingga D usianya telah 30 tahun dan 16 unit Su-27 dan Su-30 usianya nyaris 20 tahun. Pesawat Hawk 100/200 kini usianya telah 25 tahun dan sejak beberapa tahun terakhir F-5 Tiger sudah tidak lagi dioperasikan untuk mengawal angkasa Indonesia.

Proses peremajaan jet-jet tempur tadi membutuhkan waktu paling cepat 18 bulan. Berkaca dari kondisi itu, tentu dibutuhkan armada pengganti agar tugas mengawal kedaulatan udara Nusantara tak terputus sejengkal pun.

Oleh karena itu, pada 15 Juni 2023, Menhan Prabowo mengumumkan rencana Indonesia untuk mengakuisisi 12 unit jet tempur Mirage 2000-5 milik AU Qatar, salah satu negara paling makmur di dunia. Melalui kontrak jual beli bernomor TRAK/181/PLN/I/2023/AU yang diteken pada 31 Januari 2023, Mirage 2000-5 bakal dimiliki Indonesia paling lama 24 bulan lagi.

Pembelian senilai 733 juta euro (Rp11,83 triliun) itu dibantu oleh perusahaan perantara asal Republik Ceko, Excalibur International, AS. Sebanyak sembilan unit Mirage 2000-5 bertipe kursi tunggal (single seat) dan tiga sisanya berkursi ganda (double seat). Kontrak pembelian meliputi suku cadang, transfer teknologi, pelatihan pilot-pilot tempur TNI-AU, dan asuransi.

Skadron Udara 1 Pangkalan Udara Supadio, Pontianak, Kalimantan Barat juga sudah disiapkan sebagai rumah ke-12 unit Mirage 2000-5 tersebut. Sejumlah alasan dikemukakan Prabowo terkait pembelian alutsista bekas milik negara berpendapatan per kapita sebesar USD82.877 (Rp1,26 miliar) versi Forum Ekonomi Dunia (WEF) di 2022 atau tertinggi kelima di dunia.

Pertama, untuk membiasakan pilot-pilot tempur Indonesia dengan jet-jet tempur buatan Prancis, lantaran Mirage 2000-5 merupakan produk dari Dassault Aviation seperti halnya Rafale. Selanjutnya, proses pengiriman pun relatif lebih cepat dari Rafale dan dapat langsung dioperasikan.

“Indonesia membutuhkan pesawat tempur untuk kekuatan sementara (interim) sambil menunggu Rafale. Itulah maksudnya kita mencari yang bisa segera kita gunakan, paling lama 24 bulan, kami harapkan lebih cepat. Tentu kecanggihan Mirage 2000-5 tidak sama dengan Rafale tetapi sama-sama buatan Dassault. Sekaligus membiasakan penerbang kita dengan teknologi Prancis,” ucap Prabowo, sewaktu menerima kedatangan unit kedua dari Hercules C-130 di Lanud Halim Perdanakusuma, Jakarta, Kamis (6/7/2023).

Mengutip Flight International, AU Qatar membelinya pada 1994 dan unit pertama diterima September 1997 serta lengkap seluruhnya tiga tahun setelahnya. Meski begitu, uji terbang baru dilakukan pada 2003 dan beroperasi sepenuhnya di 2006.

Mirage 2000-5 milik AU Qatar ini bagian dari 80 unit jet tempur bermacam tipe termasuk Rafale dan F-15 E. Kendati armada tempurnya lebih banyak dari Indonesia, luas wilayah Qatar jauh lebih kecil dari Indonesia, sekitar 11.581 km2 atau dua kali luas pulau Bali.

Sejak 2010, tugas pengawasan wilayah udara Qatar lebih banyak diserahkan kepada Rafale, F-15 X dan terakhir adalah produk anyar Uni Eropa bertipe MRCA, Eurofighter Typhoon yang masuk ke dalam jajaran armada AU Qatar sejak akhir 2022. Otomatis, peran Mirage 2000-5 pun semakin ringan.

Prabowo menyebut, hasil evaluasi para insinyur Indonesia terhadap Mirage 2000-5 AU Qatar ditemukan bahwa jam terbang (flying hours) baru 30 persen dan masih tersisa 70 persen lagi. “Jam terbangnya masih lama, masih punya usia pakai kira-kira 15 tahun lagi karena baru dipakai kurang lebih 30 persen jam terbang,” tegas Prabowo.

Indonesia ikut melirik AU Uni Emirat Arab yang sama-sama mengoleksi Mirage dari varian Mirage 2000-9 sebagai tipe terakhir dari Mirage 2000. Pemerintah UEA membeli 30 unit Mirage 2000-9 pada November 1998 senilai USD3,2 miliar (Rp48,6 triliun) dan tiba di Dubai mulai 2003 serta dioperasikan pada 2008. Belakangan, jumlahnya melesat menjadi 59 unit, 15 unit di antaranya untuk pesawat latih.

Mirage 2000-9 milik AU UEA ini dilengkapi oleh Shehab, rudal serangan udara berpemandu laser serta terintegrasi dengan radar darat ke udara, RDY-2. “Kami akan segera kirim tim negosiasi karena kami harus yakinkan mereka bersedia diakuisisi,” kata Prabowo.

Ia optimistis Indonesia bisa mendapatkan Mirage 2000-9 dari UEA karena hubungan baik kedua negara selama ini. Terlebih, pesawat tersebut sebentar lagi akan tergantikan perannya oleh 80 unit Rafale dan puluhan unit produk dari generasi terbaru jet tempur seperti Typhoon, F-35A Lighting, F/A-18 Super Hornet, dan Su-57 yang telah masuk dalam keranjang belanja alutsista tempur udara Pemerintah Emirat Arab. [Adm]

Sumber: Indonesia.go.id

Artikel Lainnya